Langsung ke konten utama

Budaya Lokal Dalam Sastra di Mata Cerpenis


Dongen telah memuaku kita sejak anak-anak hingga masa tua, seperti pitutur akan Kancil Mencuri Timun, Sangkuriang, Bawang Putih Bawang Merah atau Timun Emas. Lewat narasi-narasi lisan itu kita memasuki jagat petualangan yang indah.
Bagaimana dongen masa kini ?. Kita tak hanya makin kehilangan dongen tapi juga teater tradisi, upacara adat, berbagai pitutur atau cerita lisan di tengah makin menguatnya pragmatisme. Kemajuan jaman makin mendorong kita hanya peduli pada kebutuhan jangka pendek, menjebak dalam pusarannya. Kita juga semakin sulit untuk membedakan antara nilai dan hal-hal yang artifisial, tidak hirau dengan budaya lokal, bahkan ada yang melihatnya sebagai hal kuno, ketinggalan jaman.
Meski demikian, di banyak daerah geliat untuk menjaga budaya lokal itu tetap ada, baik lewat kepedulian individu atau komunitas meski tak sesemarak dan gemerlap budaya lain yang masuk kategori moderen.
Seperti juga yang ada dalam sebuah kumpulan cerita pendek dari 11 penulis berjudul “Kolencer dan Hari Raya Hantu” berisikan 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal. Para cerpenis yang terdiri dari berbagai usia serta pengalaman ini mengangkat bermacam tradisi yang ada di daerah asal mereka. Warna-warna lokal dalam tradisi setempat dijadikan kisah-kisah yang menarik dalam kemasan dunia kata yang apik.
Pengamat sastra ternama, Maman S.Mahayana menuliskan pendapatnya dalam buku ini, “Inilah kisah-kisah eksotisme Nusantara, sangat “Indonesia”. Warna lokal yang khas dengan segala keunikannya, tidak sekedar mewartakan protes sosial dalam narasi yang memukau, lalu berkelindan dalam representasi kultur etnik, tapi juga menjelma lanskap ke-Indonesiaan.”
“Sebuah keberagaman budaya yang penuh warna-warni, heterogen, dan sekaligus unik, eksotik. Panorama itu laksana berada di antara garis tipis fakta-mitos yang bagi masyarakat Barat, kerap dituding sebagai irasional, tahyul, dan ditempatkan dalam wilayah supranatural.
Inilah antologi cerpen yang benar-benar Indonesia. Itulah pintu masuk untuk memahami keindonesiaan yang multikultur. Di situlah bersemayam ruh antologi cerpen ini,” ujar Maman S. Mahayana, dosen tamu Hanku University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Pengantar buku ini diberikan oleh Free Hearty, pengamat budaya dan juga dosen Universitas Al-Azhar Jakarta.* (ratman/pp)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Master of the Jinn (Sebuah Novel Spiritual)

Resensi Buku Judul : Master of the Jinn (Sebuah Novel Spiritual) Pengarang : Irving Karchmar Penerjemah : Tri Wibowo BS Penyunting : Salahuddien Gz Penerbit : Kayla Pustaka Master of the Jinn adalah sebuah novel sufistik yang berkisah tentang pengembaraan tujuh jiwa, yaitu Profesor Solomon, Rebecca, Kapten Simach, Ali, Rami, Ishaq, dan si faqir. Mereka mencari cincin Sulaiman yang konon mempunyai kekuatan untuk mengendalikan bangsa jin. Pencarian tersebut tak hanya memampukan mereka mengetahui hakikat bangsa jin, namun juga penemuan jati diri dari masing-masing pengembara. Dari segi seni bertutur, Irving Karchmar, sang penulis, orang Yahudi yang pada tahun 1992 dibaiat menjadi darwis Tarekat Sufi Nimatullahi ini, sepertinya ingin mengawinkan narasi dari kembara spiritual ala The Alchemist dan thriller yang mengupas simbolisme religius dari The Da Vinci Code. Sebuah upaya yang cukup ambisius. Betapapun, cerita berjalan cukup menegangkan, sarat metafora dan aforisma, penuh dengan kejut

Bekal Dasar Menjadi Wartawan Profesional

Penulis :  Didiek Danuatmadja  &  W. Suratman Ukuran : 14 x 21 cm Jumlah Hal : i ii + 7 6 hlm ISBN : 978-602-95302-1-6 Cetakan : Pertama (I), Juli 2013 Penerbit : FATH PUBLISHING   Didistributor : PUSTAKA TAUFIQ JURNALISME sebenarnya merupakan ilmu yang tidak layak dipelajari sambil "berjalan". Sebagaimana disiplin ilmu-ilmu yang lain, upaya pemahamannya harus ditempuh dengan cara-cara yang sistematik dan metodis, agar kita bisa menguasainya secara utuh. Buku ini sekadar bahan    pengenalan yang sifatnya sangat elementer. Di dalamnya memang termuat berbagai sisi yang agak kompleks, tetapi, sebenarnya, jauh dari perfeksitas. H al-hal yang elementer itu tadi menjadi lebih minimalis untuk proses pembelajaran dan pengamalannya.   Yang harus dipahami sejak awal, jurnalistik itu sendiri merupakan suatu kegiatan intelektual ilmiah, bukan sekadar "ilmu perjuangan" untuk kanalisasi idealisme, sebagaimana sering didengung-­dengungkan oleh pa

Sajak Cinta di Bulan Februari

Judul : Sajak Cinta di Bulan Februari Penulis : Pujangga Nusantara Ukuran: A5 Halaman: x + 116 (126 Halaman) Jenis kertas: Bookpaper 72 gr Isi: Black White Cover : Soft cover Laminasi : Doff ISBN : 978-623-6943-79-3 Harga : Rp. 55.000 Blurb: Kumpulan puisi oleh para Pujangga Nusantara dalam event terbit bareng bertema Cinta Kasih yang terangkum dalam satu kesatuan makna, keindahan diksi di dalamnya, dan filantropi yang diuraikan dengan aksara. Rasa dan karsa yang tumbuh di dalam cinta melalui serangkaian aksara dalam setiap harinya. Pemesanan buku bisa menghubungi : Ratman - HP.0852 1708 4656