Resensi Buku
Judul : Master of the Jinn (Sebuah Novel Spiritual)
Pengarang : Irving Karchmar
Penerjemah : Tri Wibowo BS
Penyunting : Salahuddien Gz
Penerbit : Kayla Pustaka
Master of the Jinn adalah sebuah novel sufistik yang berkisah tentang pengembaraan tujuh jiwa, yaitu Profesor Solomon, Rebecca, Kapten Simach, Ali, Rami, Ishaq, dan si faqir. Mereka mencari cincin Sulaiman yang konon mempunyai kekuatan untuk mengendalikan bangsa jin. Pencarian tersebut tak hanya memampukan mereka mengetahui hakikat bangsa jin, namun juga penemuan jati diri dari masing-masing pengembara.
Dari segi seni bertutur, Irving Karchmar, sang penulis, orang Yahudi yang pada tahun 1992 dibaiat menjadi darwis Tarekat Sufi Nimatullahi ini, sepertinya ingin mengawinkan narasi dari kembara spiritual ala The Alchemist dan thriller yang mengupas simbolisme religius dari The Da Vinci Code. Sebuah upaya yang cukup ambisius.
Betapapun, cerita berjalan cukup menegangkan, sarat metafora dan aforisma, penuh dengan kejutan yang dibingkai dari peristiwa demi peristiwa yang sepertinya tersusun dari “kebetulan-kebetulan yang terencana”.
Kisah bermula dari penemuan artefak kuno oleh Kapten Simach yang digenggam oleh tangan dari kerangka Nabi Sulaiman di sebuah gua misterius di gurun Sahara Afrika. Artefak itu berupa kertas papirus bercap cincin Sulaiman, yang memuat tulisan tangannya sebelum meninggal.
Penemuan itu memicu seorang guru sufi, bernama Syekh Haadi, mengutus 7 muridnya untuk mencari cincin Sulaiman yang ia yakini masih tertinggal di gua tempat artefak itu ditemukan. Syekh Haadi sepertinya ingin menggunakan momen pencarian itu sebagai wahana bagi para muridnya untuk mengalami beragam pengalaman spiritual, yang memungkinkan mereka untuk menyadari jati diri mereka. Perjalanan dipandu oleh si faqir, yang kemampuannya dalam menerawang masa depan mengingatkan kita pada sosok Nabi Khidhir.
Mereka melintasi lautan dan gurun pasir, diterjang badai yang paling dahsyat, terjebak ke dalam kota yang hilang, hingga akhirnya tiba di pintu gerbang negeri jin. Dalam sebuah kesempatan, satu di antara mereka, yaitu si faqir, terungkap jati dirinya sebagai Ornias, jin yang berubah menjadi manusia untuk sebuah maksud dan tugas tertentu yang belum usai.
Masing-masing pengembara mengalami pengalaman yang aneh: visi-visi yang merasuki mimpi-mimpi, sejuta ingatan dan air mata yang melimpahi hati, misteri-misteri yang tak berhenti mengalir, badai siluman dan malam-malam yang tiada akhir, Gerbang Surga yang terbuka, dan setan-setan garang yang tercipta dari api tanpa asap.
Yang paling menarik, novel Master of the Jinn, sebagaimana karya-karya sufi sebelumnya, berbicara tentang cinta. Adalah Ornias, sosok jin pencuri permata di istana Sulaiman pada masa lalu; Ia sudah sedemikian dahaga dengan cinta, agar dapat tersentuh oleh cahaya surga.
Dengan sadar ia mengubah dirinya menjadi manusia, menjadi si faqir, seorang pengembara ruhani dengan tujuan akhir mencari cinta Illahi. Dengan sabar ia memandu 6 manusia (Ishaq, Ali, Rami, Profesor Solomon, Rebecca, dan Kapten Simach) untuk menemukan jalan takdirnya masing-masing dalam petualangan mereka yang menegangkan, terkadang menggelikan.
Tercapainya hasrat Ornias menjadi “pelayan kemanusiaan” sekaligus seorang pencinta, menyisakan sebuah renungan yang menarik: Bukankah segenap makhluk di semesta raya ini memiliki peluang yang sama untuk tumbuh secara spiritual dan meraih keagungan cinta Illahi? Tidakkah itu pun membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa hanya cinta satu-satunya jalan bagi segala makhluk untuk merasakan dan “mengalami” Tuhan?
Novel ini ingin menyadarkan kita pada cinta yang lebih luhur, yang selama ini terlupakan akibat keterikatan kita pada dunia. Di tangan seorang Irving Karchmar, cinta tak lagi hanya dijabarkan dengan kata-kata belaka, namun melalui kekayaan pengalaman dalam sebuah tarekat sufi—yang hampir mengisi lebih dari sepertiga alur cerita.
Pengarang seakan mengajak kita menempuh perjalanan yang sama seperti dirinya. Melalui narasi-narasi yang lembut dan penuh makna, kita bisa menyelami beragam sifat dari tujuh pengembara pencari cincin. Masing-masing dari mereka unik, sehingga perjalanan dan pencapaian mereka pun unik. Ishaq yang peragu dan penakut; Ali dan Rami yang setia; Profesor Solomon yang skeptis dan rasional; Kapten Simach yang pemberani; Rebecca yang jelita, baik wajah maupun jiwanya; serta si faqir yang lurus dan tanpa kompromi.
Yang tak boleh dilupakan dalam kisahan ini adalah posisi sentral dari seorang guru spiritual, Syekh Haadi, yang menjadi “sutradara tersembunyi” dari setiap peristiwa dalam novel, dan yang menjadi tempat penyerahan ego bagi tujuh pribadi yang diutus olehnya untuk mencari cincin. Figur dia yang bijak dan misterius mengingatkan kita pada pentingnya seorang pemandu, guru, atau mursyid dalam perjalanan spiritual seorang murid, yang melaluinya kesadaran si murid mampu mengalami lompatan quantum.
Apa pun itu, Irving Karchmar sepertinya sengaja memilih tema jin untuk membonceng pesan-pesannya tentang cinta universal, yang ada pada setiap tradisi dan agama. Sebagai novel sufi yang ditebari metafora dan aforisma tasawuf yang indah, Master of the Jinn memiliki potensi menjadi salah satu buku referensial dalam spiritualitas Islam. Ia bakal mengantar Anda pada cinta yang akan menjabar rahasia-rahasianya di layar kesadaran Anda secara bersahaja. (*)
Komentar