Membaca novel karya Putra Gara yang tebalnya lebih dari 400 halaman ini kita dibawah pada kejayaan Kerjaan Samudra Pasai di abad 13 lalu.
Mereka adalah tiga generasi, berjuang untuk negeri yang sama, dengan kisah berbeda ; Malikussaleh, sang pendiri yang penuh kharisma, yang pergi ketika semua rakyat sampai pada puncak cinta terhadap sang raja. Malikuddhahir, terperangkap dalam bara dendam musuh lama, yang nyaris memicu perang saudara yang penuh darah. Maliddhahir II, terjebak dalam cinta tak sampai, yang membawa pergi jauh dirinya untuk mengobati luka hatinya, namun kemudian kembali menjadi sosok yang gagah perwira.
Samudra Pasai kerajaan Islam pertama di bumi nusantara terancam hancur di tangan keserakahan Patih Majapahit, Gajah Mada. Hal itu memancing kemarahan raja Samudra Pasai Malikuddhahir II yang tak mau tunduk di bawah cengkeraman Majapahit.
Dalam Novel ini, pada bab-bab terakhir, memang digambarkan terjadi pertempuran antara Samudra Pasai dan majapahit, Keindahan kata yang Gara urai dalam novel ini begitu mengandung makna, coba simak kutipan dalam novel ini :
‘Di remang subuh dingin, di tahun 1350 yang menentukan, embun pagi di perbatasan Pasai telah pergi bersama jejak langkah kaki yang membawanya berlari. Pasukan Pasai telah bergerak menuju perkemahan Majapahit. Tombak dan pedang di acungkan. Pasukan berkuda dan gajah melangkah pelan menyembunyikan derapnya pada keheningan pagi.
Saat mata masih menyipit dari bangun tidur, dan penjaga telah lelah menunggu malam agar cepat berlalu, pasukan Majapahit seperti pencuri yang disergap dari persembunyiannya begitu menyadari tiba-tiba saja Pasukan Pasai telah mengepung perkemahan mereka.
Mereka terkesiap
Perkemahan langsung gaduh
Tetapi terlambat untuk bergerak.’
Alur cerita novel berlatar belakang sejarah ini memang mencengangkan. Ditambah lagi kalimat-kalimat indah yang bertabur di sana-sini tidak lantas membuat Samudra Pasai terjebak pada romantisme picisan ala novel remaja, namun justru membangun citraan yang dipenuhi ketegangan. Sungguh sebuah novel yang layak untuk dibaca.
Oleh : (ratman aspari)
Komentar