The Partnership atau Kemitraan meluncurkan buku berjudul Korupsi itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama hari ini di Bumbu Desa, Cikini. Koruptor itu Kafir merupakan buku yang disusun dari hasil kerjasama dan konsolidasi mutakhir dari organisasi massa Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang didukung oleh Partnership/Kemitraan. Dalam buku ini, para pakar dari dua ormas Islam tersebut dengan seksama membedah pelbagai dimensi korupsi dari kajian fiqih Islam dan sampai pada suatu kesimpulan bahwa praktik korupsi adalah sesuatu yang haram dan bertentangan dengan ajaran fundamental Islam. Buku ini tidak saja menyajikan korupsi dari sisi pandang Muhammadiyah dan NU tapi juga menawarkan beberapa alternatif pemberantasan korupsi di kalangan masyarakat Islam dan pemberantasan korupsi dalam berbangsa dan bernegara.
Bambang Widjojanto, selaku pemapar dan editor buku mengatakan “korupsi adalah kejahatan yang tidak sekedar merugikan keuangan negara, tetapi salah satu faktor penyebab utama kemiskinan, menistakan kemanusiaan dan menghancurkan peradaban. Siapapun kita, sebaiknya terlibat untuk ber-jihad di gerakan anti korupsi karena sebaik-baiknya pribadi adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.
Dari aspek hukum, Laode M. Syarif mengatakan “landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia masih lemah karena kerangka hukum yang ada sekarang masih belum bersinergi secara positif bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Keadaan ini diperparah dengan lemahnya peran penegak hukum dalam pemberantasan korupsi karena penegak dan institusi penegak hukum, khususnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan masih belum mampu membersihkan diri dari praktik-praktik korupsi itu sendiri. Disamping itu, KPK yang seharusnya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi terus-menerus mendapatkan serangan dan pelemahan yang sistematis dari sejumlah lembaga negara khususnya parlemen dan lembaga penegak hukum lainnya. Menyadari keadaan yang memprihatinkan itu, buku ini memberikan dukungan moral yang kuat karena buku ini menegaskan bahwa praktik korupsi adalah perbuatan setan sehingga para koruptor tak kurang dan tak lebih adalah kafir”.
Sedangkan Abdul Malik Gismar berpendapat bahwa walaupun korupsi merupakan fenomena yang multifacet (hukum, ekonomis, dan sosiologis) pada akhirnya perilaku korupsi adalah pilihan individu yang dibuat melalui filter dan justifikasi psiko-kultural. Upaya pemberantasan korupsi harus komprehensif dan tidak boleh melupakan faktor psikokultural ini. Penanaman kembali nilai-nilai moral – value reorientation – adalah salah satu hal penting dalam upaya ini. Orientasi nilai yang jelas akan membuat individu sensitif terhadap immoralitas korupsi, mempersempit kemungkinan denial of responsibility dan denial of injury. Dan, salah satu sumber nilai yang sangat penting tentunya adalah ajaran agama. Dalam konteks inilah buku ini menjadi sangat penting.
Acara yang menampilkan Prof. Dr. Malik Madany sebagai pembahas ini mempertegas bahwa tindak korupsi bukan saja keji dan tercela, tetapi suatu hal yang bertentangan dengan keimanan. Dalam hadis diriwayatkan bahwa seorang pencuri tidak mungkin mencuri dalam keadaan beriman. Jika mencuri merupakan suatu tindakan mengambil sesuatu yang bukan miliknya, maka korupsi dapat masuk ke dalam kategori tindak pencurian. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa seorang koruptor tidak mungkin melakukan korupsi dalam keadaan beriman. Dalam kerangka seperti itulah buku berjudul Koruptor itu Kafir ini diterbitkan.
“Partnership/Kemitraan dalam perannya untuk mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik, menempatkan masalah pemberantasan korupsi sebagai salah satu fokus perhatian. Mengingat kompleksnya masalah korupsi, pemberantasannya harus bersifat ”all-out” dari segala penjuru. Perbaikan pranata hukum serta sistem penyelenggaraan pemerintahan (yang transparan, akuntabel dan partisipatif) saja tidak akan memadai. Dengan melihat korupsi dari sudut keimanan, baik dalam tradisi Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, buku Koruptor itu Kafir ini menegaskan bahwa tindakan koruptif yang pada dasarnya meletakkan uang di atas segalanya sama saja dengan ”syirik.” Kemitraan berharap bahwa penegasan ini dapat menjadi pendorong gerakan sosial anti-korupsi yang belakangan ini mendapat perlawanan yang kuat dari pihak-pihak yang selama ini menikmati besarnya toleransi masyarakat terhadap korupsi. Bersama dengan gerakan sosial semacam inilah tata-pemerintahan yang baik bisa diwujudkan” jelas Wicaksono Sarosa, Direktur Eksekutif Kemitraan, yang hadir dan memberikan kata sambutan dalam peluncuran buku ini. (*)
Komentar